
Bangka Barat, hukumtembak.com – Ada Apa dan apa yang terjadi dengan para penguasa wilayah khususnya para penegak hukum yang berada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya Kabupaten Bangka Barat semenjak kedatangan Satgas Nanggala dan Satgas Halilintar. Namun kedatangan para satgas bukan berarti harus membuat peran dan fungsi daripada aparat itu sendiri seakan hilang sesuai tupoksinya di masing-masing wilayah. Hal ini nampak terlihat dari aktifitas penambangan di Perairan Laut Keranggan dan Tembelok yang sudah beraktifitas hampir satu minggu sedangkan Perairan Laut Teluk Inggris sudah lebih dari dua bulan.
Tak hanya para aparat penegak hukum, DPRD maupun Pemkab Bangka Barat pun sama sekali tak menggubris kegiatan tambang tersebut seakan pembiaran yang tak berujung.
Mengutip sedikit dari tulisan tinta karya Belfa Alkhab Jurnalis trasberita.com, secara hukum, wilayah laut tempat ponton itu beroperasi tidak boleh disentuh oleh alat isap timah. Hal itu tertulis jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Pasal-pasalnya tegas bahwa zona perikanan tangkap diperuntukkan bagi nelayan tradisional, bukan bagi mesin-mesin penyedot dasar laut. Peta RZWP3K Babel menyebut wilayah Mentok–Keranggan–Teluk Inggris sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang yang kini dijadikan “dalih” baru untuk mengatur siapa boleh menggali bumi, dan siapa harus menyingkir darinya.
Dalam logika negara, UU 2/2025 berdiri megah sebagai hukum tertinggi soal tambang. Di dalamnya, negara mengatur wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan siapa saja yang berhak mendapat prioritas untuk menggali kekayaan alam.
Namun laut Bangka Barat, terutama Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris, seolah menjadi halaman belakang tempat pasal-pasal itu ditanam tanpa akar.
Hukum memang mengatur, tapi siapa yang menegakkan?
Di dalam undang-undang itu, tak ada pasal yang berbunyi: “Dilarang membiarkan aparat menutup mata.”
Maka muncullah oknum, kata paling lembut untuk menyebut mereka yang menukar suara mesin dengan bunyi uang logam.
Namun hukum itu, kata nelayan tua bernama M. Hadi, “Cuma kuat di kertas, lemah di laut.”
Ia tersenyum getir ketika mengatakan itu, sambil menatap laut yang dulu ia panggil “ibu”.
Kini ibu itu dipaksa melahirkan pasir hitam yang tak lagi memberi kehidupan.
“Kalau jaring kami sobek, kami perbaiki,” ujarnya lirih.
“Tapi kalau laut kami rusak, siapa yang bisa menjahitnya kembali?”
Hukum seharusnya menjadi mercusuar, tapi di Mentok, cahaya itu diredupkan oleh kabut tambang.
Perekonomian warga stabil????
Perekonomian warga stabil selalu menjadi alibi atau alasan dengan adanya aktifitas penambangan di Keranggan, Tembelok maupun Teluk Inggris. Perekonomian warga mana yang stabil? Perekonomian warga perkelompok atau perorangan atau perekonomian warga pemain tambang. Fee 25persen dipotong dari setiap hasil tambang dari tiap-tiap ponton namun apakah sampai ke warga fee yang merupakan hak yang katanya para pengurus memungut fee?? Apakah pernah ada pembagian ataupun pemberitahuan kepada warga terkait hasil dari pemungutan fee 25 persen tersebut secara gamblang? Ini semua hingga saat ini masih selalu menjadi tanda tanya besar karena ketika fee didapat maka tidak ada yang namanya pembagian fee terhadap masyarakat. (BERES Team).












