Himbauan dan Penertiban APH di Anggap Seremonial Oleh Pelaku Tambang Tembelok-Keranggan!!! 

oleh -20 Dilihat

Bangka Barat, hukumtembak.com – Miris dan dramatis, ibaratkan menegakkan benang basah seperti itu pula dalam menegakkan hukum di wilayah Perairan Laut Tembelok-Keranggan terkait masih adanya aktifitas tambang ilegal di perairan tersebut hingga sekarang ini Rabu (29/10/2025). Berbagai upaya dan daya telah dilakukan oleh aparat penegak hukum guna menghentikan aktifitas tersebut, mulai dari himbauan, penertiban hingga penangkapan namun tetap saja berbagai alasan dan akal bulus para pelaku tambang lebih kokoh dari penegakan hukum.

Tertanggal 24 – 25 Oktober 2025 telah ada upaya himbauan serta penegasan dari dua Perwira dari Jajaran Polres Bangka Barat terhadap penambangan di Tembelok-Keranggan yang satu hamparan laut, namun tindakan Kasatpolair Polres Bangka Barat, Iptu Yudi dan Kapolsek Bangka Barat, Iptu Rusdi dianggap seremonial dan ecek-ecek oleh pelaku tambang.

Kapolres Bangka Barat, AKBP Pradana Aditya Nugraha, SH., SIK ketika di kirim pesan melalui pesan pribadinya akan menindak lanjuti.

“Terima kasih informasinya, nanti kami tindak lanjuti. Kami himbau ke masyarakat untuk tidak terpengaruh oleh kabar hoax, dan lokasi tersebut adalah bukan zona pertambangan,” kata Kapolres, Selasa (28/10/2025) pukul 12.45 WIB.

Sementara itu kabar terbaru dari info yang didapat pada salah satu grup WA
menyebutkan jika ingin bekerja di wajibkan bayar dulu sejumlah uang sebesar Rp. 800.000/ponton.

“Hari ini (Senin) Keranggan jalan, sistem ambil bendera di pospam bayar 800ribu timah bebas nek jual kemane,” tegas salah satu nama (Ajang Mentok) digrup WA Keranggan Jaya pada Senin lalu pukul 07.12 WIB.

Selain itu juga telah beredar luas di jejaring media online secarik kertas dimana menguraikan Rp. 800.000/ponton sesuai peruntukannya :
Operasional: Rp. 100 ribu, Masyarakat: Rp. 500 ribu, Pemuda: Rp. 100 ribu, Ibu-ibu: Rp. 50 ribu
Janda, lansia, anak yatim, serta rumah ibadah: Rp. 50 ribu dan bahkan Kertas tersebut juga mencantumkan pihak yang “mengetahui”, yakni kelembagaan Kelurahan dan masyarakat Kelurahan Keranggan.

Jika merujuk pada aturan hukum yang berlaku

1. Jika memang benar adanya permintaan/kesepataan Rp. 800Ribu sebagai bayaran untuk beraktifitas tambang ilegal di perairan laut Tembelok-Keranggan bisa dikategorikan dalam tindak pidana karena perairan tersebut bukan milik perorangan atau perkelompok dan perlu diketahui jika perairan tersebut berdasarkan Peta RZWP3K Babel menyebut wilayah Mentok – Tembelok – Keranggan – Teluk Inggris sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove.
2. Tembelok-Keranggan merupakan IUP Pemerintah setempat dan berarti harus memiliki izin resmi dari pemerintahan setempat
3. Apakah hasil pengambilan timah dari sebagian atau full persentase pemerintah setempat khususnya bangka barat mendapatkan guna masuk dalam kas daerah yang mana sekarang ini Bangka Barat mengalami Defisit Anggaran

Pasal-pasalnya tegas bahwa zona perikanan tangkap diperuntukkan bagi nelayan tradisional, bukan bagi mesin-mesin penyedot dasar laut. Peta RZWP3K Babel menyebut wilayah Mentok – Tembelok – Keranggan – Teluk Inggris sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove. Hal itu tertulis jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang yang kini dijadikan “dalih” baru untuk mengatur siapa boleh menggali bumi, dan siapa harus menyingkir darinya.

Dalam logika negara, UU 2/2025 berdiri megah sebagai hukum tertinggi soal tambang. Di dalamnya, negara mengatur wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan siapa saja yang berhak mendapat prioritas untuk menggali kekayaan alam.

Namun laut Bangka Barat, terutama Tembelok, Keranggan dan Teluk Inggris, seolah menjadi halaman belakang tempat pasal-pasal itu ditanam tanpa akar.

Hukum memang mengatur, tapi siapa yang menegakkan?

Di dalam undang-undang itu, tak ada pasal yang berbunyi: “Dilarang membiarkan aparat menutup mata”.

Maka muncullah oknum, kata paling lembut untuk menyebut mereka yang menukar suara mesin dengan bunyi uang logam.

Hukum seharusnya menjadi mercusuar, tapi di Mentok, cahaya itu diredupkan oleh kabut tambang. (Evan Group).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.