Mentok, Bangka Barat — Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam aktivitas tambang ilegal di perairan Tembelok–Keranggan, Kecamatan Muntok, kembali mencuat dan menjadi sorotan tajam masyarakat. Publik menilai lemahnya respons aparat penegak hukum, khususnya Polres Bangka Barat, berpotensi menggerus kepercayaan terhadap institusi hukum yang selama ini mulai membaik.
Informasi yang beredar luas menyebutkan, para penambang diwajibkan membayar setoran sebesar Rp800 ribu per ponton per hari untuk bisa beroperasi di kawasan tersebut. Skema “uang jalan” ini diduga dikoordinir oleh oknum perangkat desa dan kelompok tertentu yang memanfaatkan celah lemahnya pengawasan hukum.
Kasus ini kini menjadi buah bibir panas di kalangan masyarakat dan pemerhati hukum. Pasalnya, praktik pungli di sektor pertambangan ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dianggap mencerminkan bobroknya tata kelola sumber daya alam yang semestinya menjadi milik bersama.
“Kalau pungli seperti ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, masyarakat akan kembali kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum. Padahal kepercayaan itu mulai tumbuh belakangan ini,” ujar salah satu tokoh masyarakat Muntok yang enggan disebutkan namanya.
●Dua Kubu dan Skema Setoran Berbeda●
Sejumlah sumber menyebutkan, selain kelompok yang mengatasnamakan perangkat desa, terdapat pula kubu sebelumnya yang dikenal dengan sebutan “Gopari Cs”. Kelompok ini dikabarkan menerapkan pola pungutan berbeda, yakni pembayaran “bendera” sebesar Rp1 juta per ponton, disertai potongan hasil timah hingga 25 persen.
Perbedaan sistem pungutan tersebut memicu ketegangan di lapangan. Kedua kubu dikabarkan saling mengklaim memiliki kewenangan menarik setoran dari para penambang, membuat situasi di laut menjadi tegang dan tidak menentu. Para penambang pun menjadi pihak yang paling dirugikan karena terjepit di antara dua kepentingan.
“Kadang ada bentrokan kecil, karena masing-masing pihak merasa berhak menarik setoran. Para penambang bingung, takut, dan akhirnya memilih berhenti sementara,” ungkap salah seorang warga pesisir.
●Ancaman Konflik dan Ketidakpastian Hukum●
Gesekan di lapangan kini menimbulkan kekhawatiran serius di tengah masyarakat. Warga pesisir khawatir konflik horizontal bisa pecah sewaktu-waktu apabila aparat tidak segera turun tangan menegakkan hukum secara adil dan transparan.
“Kalau semua mengatasnamakan warga, seharusnya bersatu, bukan rebutan setoran. Masyarakat kecil jangan dijadikan korban kepentingan segelintir orang,” ujar seorang warga di warung kopi Tembelok.
Praktik pungli yang melibatkan perangkat desa juga dinilai sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena merusak tatanan hukum, mencederai keadilan sosial, dan menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.
■Desakan Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu■
Masyarakat kini menanti langkah tegas dari Polres Bangka Barat di bawah pimpinan AKBP Pradana Aditya Nugraha, S.H., S.I.K., untuk menelusuri aliran dana pungli sebesar Rp800 ribu per ponton tersebut. Publik mendesak agar penyelidikan dilakukan secara terbuka dan tidak berhenti pada pelaku lapangan semata.
Penindakan hukum yang tegas dinilai penting bukan hanya untuk memulihkan ketertiban di wilayah tambang, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
“Hukum seharusnya tidak pandang bulu. Kalau benar ada oknum yang bermain, harus ditindak. Jangan sampai masyarakat menilai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” tegas seorang pemerhati sosial Bangka Barat.
Catatan Redaksi:
Kasus dugaan pungli dalam aktivitas tambang ilegal di wilayah pesisir Tembelok–Keranggan menjadi ujian nyata bagi komitmen aparat dalam menegakkan hukum. Ketegasan dan transparansi dalam proses penegakan hukum akan menjadi kunci untuk memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Bangka Barat.












