Menulis Peradaban, Menghapus Kebodohan: Pemkab Bangka Barat Mengibarkan Bendera Perang Literasi

oleh -7 Dilihat

Bangka Barat, hukumtembak.com – Pemerintah Kabupaten Bangka Barat menggelar Festival Literasi tiga hari di halaman Perpustakaan Daerah Bangka Barat (4—6 November 2025), menegaskan misi untuk menempatkan literasi tidak lagi sebagai ornamen seremonial tahunan, tetapi sebagai poros peradaban di tengah tekad daerah ini untuk menjadikan Muntok bukan sekadar kota tua bernostalgia kolonial, namun kota yang menghidupkan “Pusaka” dalam makna yang paling politis: warisan pengetahuan, ide, bahasa, cara berpikir.

Di pembukaan, Wakil Bupati Bangka Barat, Yus Derahman, memukul gong, bukan sebagai simbol pembukaan acara, melainkan seakan menandai babak baru: sebuah deklarasi bahwa membaca bukan lagi kegiatan sunyi di rumah, dan menulis bukan lagi kegiatan priyayi akademik, melainkan kerja sosial untuk mengembalikan akal waras publik.

“Membaca membuka wawasan, menulis meneguhkan identitas bangsa,” ujar Yus.

Yus menegaskan bahwa literasi hari ini berada di garis api. Di era digital, orang membaca, tetapi jarang memahami. Orang menulis, tetapi bukan lagi pikiran, melainkan impuls dari notifikasi yang meletup tiap detik.

Karena itu, Festival Literasi ini adalah benteng. Benteng yang melibatkan sekolah, desa, arsip sejarah, naskah kuno, dokumentasi Bung Karno pernah diasingkan di kota ini dan hingga Pusaka, yang kini mendapatkan label pengakuan resmi.

Aktivitas peserta kegiatan, mulai dari pembukaan, suasana stand buku, naskah kuno yang dipamerkan, hingga pengunjung yang bergeser dari satu meja ke meja lainnya semuanya adalah narasi non-verbal, bahwa ruang publik literasi telah kembali hidup.

Foto itu memperlihatkan kegembiraan anak-anak sekolah yang duduk lesehan membaca komik sejarah, ibu-ibu desa yang memegang arsip Soekarno dengan wajah terharu, UMKM ikut terlibat dalam ekosistem pengetahuan.

Visual itu adalah bukti bahwa literasi bukan ruang elit. Literasi adalah pasar rakyat baru.

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Bangka Barat, Farouk Yohansyah, berkata: “tahun depan kegiatan akan diperbesar bila anggaran pusat cair”.

Namun inti sesungguhnya bukan pada besar acaranya. Tetapi pada apa yang ingin dilawan adalah buta aksara dan keterlambatan sekolah. Dua luka yang selama ini dianggap tak dramatis tapi menghancurkan bangsa ini pelan-pelan.

Di dunia di mana algoritma lebih menentukan kebenaran dibanding logika, maka daerah yang berani menjadikan literasi sebagai proyek politik dan budaya adalah daerah yang memilih jalan pembangunan jangka panjang dan Bangka Barat memilih itu.

Festival literasi ini adalah pesan keras ke publik nasional, bahwa pembangunan bukan hanya jalan beton dan pariwisata. Pembangunan adalah membangun pikiran. Di kota Muntok, kota yang pernah menjadi panggung pengasingan Soekarno, kota yang kini menyandang label “Pusaka”, kalimat ini menemukan relevansinya:

Bangsa hanya bisa selamat bila rakyatnya membaca dan mampu menjawab zaman dengan tulisan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.