Nelayan Tempilang Bersama Satgasus Gagalkan Penyelundupan 524 Kg Timah, Di Tengah Gelapnya Tata Kelola Laut Bangka Barat

oleh -77 Dilihat

Penulis : Belfa Alkhab, ST dan Reza Erdiansyah, SH

Tempilang, hukumtembak.com – Pagi di Laut Tempilang tak lagi sekadar bunyi ombak dan camar. Ia menyimpan bisik yang gelisah, kabar yang datang dari permukaan air tentang orang-orang kecil yang menjaga laut, dan orang-orang besar yang membiarkannya dirampok.

Senin, 13 Oktober 2025. Di Dermaga Kuarsa Ketapang, Dusun Sika, suasana pagi sekitar pukul 09.00 WIB yang biasanya tenang mendadak berubah jadi babak baru sejarah kecil rakyat pesisir. Sebuah speedboat mendarat terburu-buru, diikuti mobil yang dikenal warga sebagai “mobil Sonia”. Nelayan di pesisir yang sedang memperbaiki jaring saling berpandangan. Mereka tahu, sesuatu sedang terjadi yang tak pernah selesai di laut ini.

Empat kelompok nelayan dari empat desa (Air Lintang, Benteng Kota, Sinar Surya, dan Tanjung Niur) sudah beberapa hari berjaga. Mereka menaruh curiga setelah melihat lalu-lalang kapal tanpa bendera, tanpa suara, tapi dengan perut kapal yang berat.

“Speedboat itu datang bukan untuk ikan. Laut kami sudah terlalu sering dijadikan tempat sembunyi,” kata Baidi, Ketua Nelayan Tempilang, suaranya pelan namun penuh keyakinan.

Baidi bukan nama baru bagi warga Tempilang. Ia dikenal bukan hanya sebagai ketua kelompok nelayan, tapi juga sebagai suara yang lantang menentang pembiaran tambang ilegal. Dalam laporan Penababel.com (2025) berjudul “Miris, Baidi Merasa Wastam Lakukan Pembiaran dan Adanya Permainan Hingga Hasil Timah Bisa Bebas Keluar,” Baidi menyebut bahwa yang terjadi di Tempilang bukan sekadar tambang liar, melainkan sistem yang memelihara kejahatan.

“Kalau kami nelayan saja bisa tahu kapal mana yang curiga, bagaimana mungkin instansi resmi tidak tahu?,” ujarnya waktu itu, getir tapi jujur.

Sejak kecil Baidi hidup dari laut. Ayahnya seorang nelayan yang tak pernah punya rumah selain perahu kayu. Ia paham betul aroma asin ombak dan getir keadilan yang tak kunjung datang. Baginya, laut adalah ibu, tempat belajar tentang sabar, tapi juga tempat menyaksikan bagaimana “anak-anak ibu” diperlakukan seperti penyusup di rumahnya sendiri.

Di sisi lain, ada Baharudin, nelayan dari Desa Sinar Surya. Ia dikenal sebagai lelaki yang dulu pernah menggagalkan penyelundupan timah di wilayah Semubung. Ia tak banyak bicara, tapi aksinya tercatat dalam laporan Trasberita.com (2025): “Nelayan Mutiara Semubung Berhasil Menggagalkan Jalur Gelap Timah Laut Tempilang”.

“Waktu itu kami hanya pakai senter dan perahu kecil. Yang kami lawan punya mesin besar dan orang-orang kuat di belakangnya. Tapi kami punya laut, dan laut selalu bicara jujur,” ucap penuh lirih.

Baharudin menjadi simbol diam yang melawan. Dalam setiap pertemuan nelayan, ia selalu menegaskan bahwa mereka bukan musuh tambang, tapi korban dari ketidakadilan tambang.

“Kami ingin laut ini adil, bukan hanya untuk pemilik izin, tapi juga untuk yang hidup dari jaring dan keringat,” tegasnya.

 

Penyergapan di Dermaga Kuarsa

Pagi itu, mereka tak menunggu lama. Begitu speedboat dan mobil Sonia bersandar, mereka bergerak. Tak ada senjata, hanya keberanian dan kabar yang sudah disebar lewat radio nelayan”. Dalam hitungan menit, Satgasus tiba — mereka sudah mendapat laporan dari kelompok pengawas laut.

“Ketika disergap, transaksi sudah terjadi. Tapi kami sempat menghadang. Satgasus datang beberapa menit kemudian. Semua barang bukti langsung diamankan,” ucapnya singkat melalui WA.

Hasilnya sebanyak 524 kilogram timah disita. Barang bukti itu langsung dibawa ke Pos PAM Penimbangan PT Timah untuk ditimbang dan diamankan.

“Itu hasil kerja kami hari ini. Bukan karena kami ingin dihargai, tapi karena kami ingin laut ini tetap punya harga dan kompensasi selalu terjaga,” katanya lantang.

Namun di balik keberhasilan itu, nelayan masih menyimpan luka lama yakni pembiaran.

Laporan Trasberita.com (2025) mencatat bagaimana Camat Tempilang sampai harus menggelar audiensi dengan HNSI karena keresahan nelayan soal aktivitas tambang laut yang tak terkendali. Di Harian Tinta (September 2025), sejumlah nelayan datang dengan harapan agar dana kompensasi tambang dibekukan sementara. Tapi, seperti biasa, suara mereka menguap di udara rapat ber-AC.

Di laut, mesin isap tetap berdengung.

Di darat, pejabat tetap berfoto.

Baidi menyebutnya “bisu yang mahal.”

“Banyak pejabat tahu, tapi tak semua berani bicara,” katanya dalam satu kesempatan. “Kami ini bukan siapa-siapa, tapi kami tak bisa diam melihat laut kami dijarah,” sebutnya.

Dalam tulisan Hukumtembak.com dan Penababel.com berjudul “Jeritan Nelayan Tempilang dalam Cengkeraman IUP PT Timah,” tergambar jelas betapa nelayan hidup dalam jaring tak kasatmata: izin usaha pertambangan yang menutup ruang gerak mereka.

“Laut ini dulu tempat kami mencari makan. Sekarang kapal besar datang dengan surat izin. Tapi di bawah izin itu, banyak kapal kecil tanpa nama ikut menambang,” ujar seorang nelayan Tanjung Niur dalam laporan tersebut.

Jejak Kasus News (2025) mempertegas: ketika PT Timah menguasai laut, nelayan jadi tumbal. Sementara di sisi lain, Gaspar86.com (2025) mengungkap bahwa “jalur gelap” tetap hidup di balik sistem resmi. Kolektor menawarkan harga lebih tinggi dari harga PT Timah, membuat jalur resmi perlahan kehilangan wibawa.

“Nelayan tahu jalur itu ada,” tulis media itu, “tapi mereka hanya bisa curiga. Karena jika bersuara, mereka bisa diintimidasi, bahkan kehilangan pekerjaan.”

Laut Tempilang kini menjadi saksi yang bisu namun tajam. Di antara buih dan pasir, ia merekam semua yang manusia sembunyikan: izin, koordinasi, dan pembiaran.

Dalam Berita5.co.id (2025) yang berjudul “Kami Butuh Timah Gelap, Bukan Penggelapan Timah,” seorang nelayan berkata, “Kami bukan menolak tambang, tapi menolak penggelapan. Kami ingin timah tetap di negeri kami, bukan dibawa lari lewat jalur gelap.”

Ungkapkasus.web.id (2025) dan KrimsusTV.online (2025) menulis hal senada bahwa laut Tempilang adalah jalur utama penggelapan timah yang lolos dari pengawasan, dengan ironi bahwa para nelayan miskin justru menjadi penjaga terakhir sumber daya negeri.

Kini, ombak tak lagi sekadar pecah di karang. Ia membawa pesan: keadilan harus dijemput, meski hanya dengan perahu kecil dan jaring yang robek.

 

Ketika Nelayan Menjadi Penjaga Negeri

Aksi gabungan nelayan empat desa bersama Satgasus bukan sekadar penindakan. Ia adalah pernyataan bahwa rakyat kecil tak akan diam ketika tanah dan laut mereka dijarah atas nama izin, proyek, dan kepentingan.

“Kalau kami tak bergerak, siapa yang akan bergerak?” tanya Baidi di akhir wawancara. “Laut ini bukan milik Pemodal, bukan milik pejabat, tapi milik semua yang hidup dari napasnya.”

Kini, nelayan-nelayan itu kembali ke laut bukan hanya membawa jaring, tapi juga keyakinan bahwa laut yang dijaga dengan keberanian tak akan mudah ditenggelamkan oleh permainan daratan.

Laut Tempilang sore itu kembali tenang. Di cakrawala, perahu-perahu kecil terlihat seperti titik-titik kesetiaan. Mereka bukan polisi, bukan aparat, tapi penjaga paling setia negeri ini.

Mereka tahu, gelombang akan datang lagi mungkin lebih besar, mungkin lebih gelap. Tapi mereka juga tahu, setiap ombak adalah doa dari laut untuk manusia yang masih berani melawan.

Jika laut bisa bicara, ia mungkin akan berbisik kepada mereka: “Yang menambang mengambil, yang berkuasa membiarkan, tapi yang menjaga selalu nelayan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.