RZWP3K Dilanggar, Hukum Ditertawakan: Ponton Terus Beroperasi di Laut Tembelok Keranggan

oleh -59 Dilihat

 

Bangka Barat – Aktifitas tambang di Perairan Laut Keranggan telah berjalan hampir seminggu dan sebanyak hampir 200 ponton isap selam beroperasi. Adanya aktifitas penambangan yang ditenggarai oleh Gopari dan Zulpan mematok uang fee kompensasi tuk masyarakat 25persen/ponton/hari. Hal ini berdasarkan pengakuan dari beberapa pemilik ponton ketika ditemui tim media di lapangan pada Selasa (14/10/2025).

“Yang penting kita begawe bos ku, soal fee kompensasi 25persen/ponton gak jadi masalah asal bisa bekerja,” kata B pemilik ponton.

Ia juga mengatakan masuk kerja di Keranggan untuk sekarang tak bayar bendera tapi nanti akan dipotong setelah ada hasil.

“Gak pakai DP bendera tapi nanti jika ada hasil baru kita bayar kepada panitianya,” bebernya.

Dilain tempat aktifitas TI User di perairan laut tembelok pun dimintai fee kompensasi masyarakat sebesar 25 persen/unit/hari oleh panitia dengan total kurang lebih 100 unit TI User.

Sementara itu dalam pemberitaan sebelumnya sering kali APH melakukan tindakan terhadap aktifitas penambangan di Perairan Laut Tembelok-Keranggan baik secara preventif, edukatif dan bahkan penangkapan. Akan tetapi selalu saja terulang kembali dan seakan kebal hukum serta bisa jadi aktifitas sekarang ini ada dugaan keterlibatan oknum aparat sehingga lancar luncur tanpa hambatan.

 

Perekonomian warga stabil???? 

Perekonomian warga stabil selalu menjadi alibi atau alasan dengan adanya aktifitas penambangan di Keranggan dan Tembelok. Perekonomian warga mana yang stabil? Perekonomian warga perkelompok atau perorangan atau perekonomian warga pemain tambang. Fee 25persen dipotong dari setiap hasil tambang dari tiap-tiap ponton namun apakah sampai ke warga fee yang merupakan hak yang katanya para pengurus memungut fee?? Apakah pernah ada pembagian ataupun pemberitahuan kepada warga terkait hasil dari pemungutan fee 25 persen tersebut secara gamblang? Ini semua hingga saat ini masih selalu menjadi tanda tanya besar karena ketika fee didapat maka tidak ada yang namanya pembagian fee terhadap masyarakat.

Mengutip karya Belfa Alkhab Jurnalis trasberita.com, secara hukum, wilayah laut tempat ponton itu beroperasi tidak boleh disentuh oleh alat isap timah. Hal itu tertulis jelas dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Pasal-pasalnya tegas bahwa zona perikanan tangkap diperuntukkan bagi nelayan tradisional, bukan bagi mesin-mesin penyedot dasar laut. Peta RZWP3K Babel menyebut wilayah Mentok–Keranggan– Tembelok sebagai Zona Perikanan Tangkap Tradisional, Zona Alur Pelayaran, dan Zona Konservasi Mangrove.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang yang kini dijadikan “dalih” baru untuk mengatur siapa boleh menggali bumi, dan siapa harus menyingkir darinya.

Dalam logika negara, UU 2/2025 berdiri megah sebagai hukum tertinggi soal tambang. Di dalamnya, negara mengatur wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan siapa saja yang berhak mendapat prioritas untuk menggali kekayaan alam.

Namun laut Bangka Barat, terutama Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris, seolah menjadi halaman belakang tempat pasal-pasal itu ditanam tanpa akar.

 

Hukum memang mengatur, tapi siapa yang menegakkan?

Di dalam undang-undang itu, tak ada pasal yang berbunyi: “Dilarang membiarkan aparat menutup mata.”

Maka muncullah oknum, kata paling lembut untuk menyebut mereka yang menukar suara mesin dengan bunyi uang logam.

Namun hukum itu, kata nelayan tua bernama M. Hadi, “Cuma kuat di kertas, lemah di laut.”

Ia tersenyum getir ketika mengatakan itu, sambil menatap laut yang dulu ia panggil “ibu”. Kini ibu itu dipaksa melahirkan pasir hitam yang tak lagi memberi kehidupan.

“Kalau jaring kami sobek, kami perbaiki,” ujarnya lirih. “Tapi kalau laut kami rusak, siapa yang bisa menjahitnya kembali?”

Hukum seharusnya menjadi mercusuar, tapi di Mentok, cahaya itu diredupkan oleh kabut tambang. (BERES Tim/Guntur).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.